Soeara Rakjat, Historia. Muhammad Shahab atau Tuanku Imam Bondjol, adalah pemimpin Pagaruyung yang juga merupakan seorang Ulama sekaligus pejuang yang pernah dengan gagah berani memimpin kaum Padri berperang melawan Belanda dalam sebuah peperangan yang dahsyat dan dikenal sebagai Perang Padri.
Tuanku Imam Bondjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat pada tahun 1772. Beliau wafat pada 6 November 1864 dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa. Tuanku Imam Bondjol tercatat sebagai salah satu pahlawan terbesar bagi bangsa Indonesia karena perjuangannya yang berusaha mengusir Belanda dari ranah Minang semasa Perang Padri.
Seperti halnya Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa II, Tuanku Imam Bondjol juga mengobarkan semangat jihad kaum Paderi dan rakyat Minangkabau pada umumnya untuk mengusir penjajahan Belanda. Tuanku Imam Bondjol lantas diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tertanggal 6 November 1973.
Sejak lahir dari rahim seorang ibu bernama Hamatun, Tuanku sudah dididik dengan berbagai disiplin ilmu agama yang sangat kuat dan kental. Ayah beliau, yaitu Khatib Bayanuddin merupakan seorang alim ulama terkemuka sekaligus tokoh dan pemimpin masyarakat di Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Selain nama Tuanku Imam Bondjol, beliau juga memperoleh beberapa gelar diantaranya adalah Tuanku Imam, Tuanku Malim Basa dan Peto Syarif.
Beliau menjadi pemimpin kaum Padri setelah Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam, yang merupakan pemimpin tertinggi dari Harimau nan Salapan menunjuk Muhammad Shahab atau Tuanku Imam Bondjol ini sebagai Imam atau pemimpin bagi kaum Padri di Bondjol. Sejak itulah nama Tuanku Imam Bonjol begitu melekat pada diri Muhammad Shahab ini.
Perang Padri sendiri awalnya dilandasi oleh keinginan para pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung yang ingin menerapkan syariat Islam dengan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits. Para pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan ini lantas meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Namun setelah melakukan beberapa perundingan, tak ada kata sepakat baik dari kelompok ulama atau Kaum Padri maupun dari Kaum Adat ini. Seiring dengan itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung pun bergejolak, yang akhirnya pada tahun 1815 Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung. Pecahlah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar, yang mengakibarkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan Pagaruyung.
Untuk menghadapi kaum Padri, kaum Adat lantas bekerja sama dengan pihak Belanda. Pada 21 Februari 1821, kaum Adat lantas menandatangani sebuah perjanjian dengan Belanda di Padang. Dengan perjanjian ini, Belanda akhirnya mendapat hak untuk bisa masuk dan menguasai wilayah pedalaman Minangkabau. Selain kaum Adat, perjanjian ini juga dihadiri oleh sisa-sisa keluarga dari dinasti Kerajaan Pagaruyung yang saat itu sudah berada di Padang.
Pertempuran pertama antara kaum Padri dengan Belanda yang bersekutu dengan kaum Adat pun pecah saat pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema menyerang daerah Simawang dan Sulit Air pada April 1821. Penyerang pasukan Belanda ini adalah atas perintah langsung Residen Belanda saat itu yaitu James du Puy.
Namun begitu, Belanda sangat kesulitan untuk menundukan pasukan Padri yang pimpinan para ulama ini. Selain itu, Belanda juga sedang kesulitan untuk membiayai perang di Eropa dan juga sedang berusaha memadamkan benih-benih Perang jawa II, atau perang Diponegoro. Menghadapi ketangguhan kaum Padri, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch di Batavia lantas mengajak kaum Padri yang saat itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bondjol untuk berdamai melalui Perjanjian Masang pada tahun 1824.
Namun bukanlah Belanda jika tidak melanggar janjinya, penyerangan pasukan Belanda ke wilayah Pandai Singkek, menjadi pertanda bahwa perang Padri ini akan terus berkobar. Pada 1833, kaum Adat akhirnya menyadari kesalahan mereka dan lantas bergabung dengan kaum Padri untuk memerangi Belanda. Kaum Adat sangat menyesal telah melibatkan Belanda dalam konflik yang akhirnya justeru sangat menyengsarakan rakyat Minangkabau sendiri.
Kaum Padri dan kaum Adat pun akhirnya bersatu dan mewujudkan sebuah konsesnsus bersama yakni Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah yang berarti Adat berdasarkan Agama, dan Agama berdasarkan Kitabullah. Peristiwa bersatunya Kaum Padri dan Kaum Adat ini dikenal dengan Plakat Puncak Pato yang terjadi di Tabek Patah.
Saat itu, ada sebuah ungkapan penyesalan dari Tuanlu Imam atas semua peristiwa yang terjadi di antara kaum Padri dan kaum Adat selama itu. Tuanku berujar, Adopun hukum Kitabullah banyak lah melampaui dek ulah kito juo. Baa dek kalian?. Ujaran Tuanku dalam bahasa Minang ini jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih adalah 'Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana fikiran kalian?'.
Sejak bersatunya kaum Padri dan kaum Adat, Belanda pun mulai melakukan penyerangan besar-besaran. Pasukan Belanda lantas mengepung benteng Padri di Bondjol selama enam bulan lamanya sejak Maret hingga Agustus 1837. Dalam penyerangan kali ini, Belanda melibatkan pasukan yang sebagian besarnya adalah pasukan pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Ambon, Bugis, Madura dan Jawa. Penyerangan ini melibatkan sekitar 148 perwira Belanda-Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 pasukan Belanda-Eropa dan sekitar 4.130 tentara bayaran pribumi.
Lebih dari itu, bantuan pasukan pun terus didatangkan dari Batavia. Pada Juli 1837, bala bantuan Belanda yang terdiri dari orang Eropa dan Afrika pun tiba di Padang dengan menggunakan kapal Perle. Setelah bantuan tiba, Belanda pun kembali melakukan pengepungan dan semakin mempersulit kedudukan Tuanku Imam. Namun begitu, Tuanku Imam tetap berjuang dan tetap tidak mau tunduk atau menyerah pada Belanda.
Terhitung hingga tiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk bisa merebut Bondjol, sebuah nagari kecil dengan bentengnya yang terbuat dari tanah liat dan di kelilingi oleh parit-parit ini. Setelah melakukan pengepungan dan pertempuran berkepanjangan, Belanda pun akhirnya bisa menguasai Benteng Bondjol pada 16 Agustus 1837.
Pada Oktober 1837, Belanda mengundang Tuanku Imam untuk berunding di Palupuh. Namun setibanya di Palupuh, Tuanku Imam langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tuanku Imam lantas dipindahkan ke Ambon, dan kemudian dipindahkan lagi ke Lotak, Minahasa. Tuanku Imam meninggal pada tanggal 8 November 1864, dan dimakamkan di tempat pengasingannya.
Tuanku Imam Bondjol, adalah salah satu pahlawan terbesar bagi bangsa Indonesia. Jika saja saat itu tak ada kaum pribumi yang membantu, belum tentu Belanda akan mampu untuk menundukan Tuanku. Kekalahan Tuanku Imam Bondjol, adalah karena tidak adanya rasa persatuan dan kesatuan dari bangsa pribumi di seluruh kepulauan Nusantara saat itu.
Seperti halnya Pangeran Diponegoro dalam dahsyatnya kecamuk Perang Jawa II, kekalahan Tuanku Imam Bondjol juga adalah karena harus berperang dengan pasukan Belanda yang sebagian besarnya adalah pasukan pribumi bayaran dari kepulauan nusantara.
Atas jasa-jasanya terhadap bangsa Indonesia, nama Tuanku Imam lantas diabadikan sebagai nama Jalan, Sekolah dan berbagai lembaga pendidikan agama Islam. Selain itu, jiwa dan semangat perjuangan yang mulia Tuanku Imam juga masih selalu bersama rakyat Indonesia yang dilukiskan dalam mata uang RI pecahan Rp 5000. BDLV/TM