KH Zainal Mustafa, Ulama dan Pahlawan Nasional asal Jawa Barat
Soeara Rakjat, Historia. KH Zainal Mustafa, adalah salah satu tokoh ulama asal Tasikmalaya, Jawa Barat. Selain sebagai ulama, KH Zainal Mustafa juga merupakan seorang Pahlawan Nasional karena perjuangannya bersama masyarakat Jawa Barat, khususnya Tasikmalaya di jaman penjajahan.
Ada beberapa versi terkait tahun kelahiran dari ulama tersebut. Menurut catatan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, KH Zainal Mustafa lahir pada tahun 1899, di Dusun Bageur, Desa Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawabarat. Sebelum menunaikan ibadah Haji tahun 1927, Zainal Mustafa memiliki nama asli Hudaeni.
Menurut sumber Wikipedia, sekembali dari tanah suci, putera dari pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah ini lantas mendirkan sebuah pondok pesantren di kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. KH Zainal Mustafa merupakan tokoh ulama Jawa Barat yang pertamakali mengobarkan pemberontakan terhadap pemerintahan jepang.
Sejak itu, KH Zainal Mustafa pun makin giat melakukan syiar Islam diseluruh pelosok Tasikmalaya. KH Zainal Mustafa yang kharismatik, patriotik dan berwawasan ke depan ini pun semakin melekat di hati masyarakat kala itu. Pada tahun 1933, KH Zainal Mustafa lantas diangkat menjadi Wakil Rois Suriah NU cabang Tasikmalaya.
Sejak tahun 1940, KH Zainal Mustafa secara terang mulai mengadakan kegiatan yang membangkitakan semangat nasionalisme dalam melawan penjajahan. Dalam ceramah-ceramahnya, Ia pun selalu menyerang kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda. Tak jarang beliau diturunkan paksa dari atas mimbar saat berceramah.
Akibat dari gerakan perlawanan ini, pada 17 November 1941, beliau ditangkap Belanda dengan tuduhan telah melakukan penghasutan terhadap rakyat. Beliau tak sendiri, ada beberapa ulama Tasik lain yang juga ditangkap bersamanya. KH Ruhiat dari Pesantren Cipasung, Haji Syirod dan Hambali Syafei adalah beberapa ulama yang ditangkap bersamanya.
Sehari ditahan di penjara Tasikmalaya, KH Zainal Mustafa lantas dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, beliau dibebaskan pada 10 Januari 1942. Meski pernah di tahan, namun beliau tidak pernah berhenti dan gentar melakukan perlawanan.
Akhir Februari 1942, beliau kembali di tangkap bersama Kyai Ruhiyat dan ditahan di penjara Ciamis, dengan tuduhan yang sama yaitu mengajak rakyat untuk melakukan pemberontakan. Hingga Belanda menyerah kalah kepada Jepang pada 8 Maret 1942, KH Zainal Mustafa masih di tahan di penjara Ciamis.
Pemerintah Jepang lantas membebaskan beliau dengan harapan, agar KH Zainal Mustafa bisa diajak bekerjasama dan membantu pemerintah Jepang di Indonesia. Namun beliau menolak, alih-alih bekerja sama, sekembalinya ke pesantren KH Zainal Mustafa lantas memperingatkan kepada santri-santrinya bahwa Fasisme Jepang lebih berbahaya dari penjajah Belanda.
KH Zainal Mustafa adalah satu-satunya ulama yang menolak memberi hormat kepada Kaisar jepang, dengan cara membungkuk ke arah Tokyo, atau terbitnya matahari. Ditengah alun-alun Tasik, ketika semua ulama yang berkumpul mau melakukan hal tersebut karena diancam dengan senjata, beliau secara terang-terangan tetap menolaknya.
Bagi KH Zainal Mustafa, sikap pemerintahan Jepang yang memaksa masyarakat Tasikmalaya khususnya para ulama untuk tunduk dan membungkuk ke arah Tokyo atau arah terbitnya matahari adalah sebuah penghinaan dan pelecehan terhadap aqidah dan juga agama Islam.
KH Zainal Mustafa memilih lebih baik mati sebagai Syuhada daripada harus tunduk kepada penjajahan. Dengan semangat Jihad inilah pada 25 Februari 1944, beliau lantas mulai merencanakan pemberontakan. Banyak pembesar Jepang yang kemudian diculik, jalur komunikasi Jepang pun lantas diputus dan berbagai aksi sabotase lainnya.
Sejak itu, beliau memerintahkan kepada para santrinya untuk mempersiapkan senjata berupa Bambu Runcing dan Golok. Selain mengajarkan santrinya berlatih pencak silat, KH Zainal Mustafa juga memberi latihan Spiritual. Beliau mengajarkan Tarekat dan meminta agar para santrinya mengurangi makan dan tidur, juga lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan berbagai wirid dan dzikir.
Sebelum pemberontakan benar-benar berkobar, Jepang ternyata sudah mencium persiapan KH Zainal Mustafa dan para santinya tersebut. Jepang lantas mengirim Camat Singaparna bersama beberapa staf dan polisi untuk menangkapnya. Namun mereka justeru sendiri yang ditahan oleh santri-santri KH Zainal Mustafa, mereka lantas dibebaskan namun senjatanya dirampas oleh para pejuang santri ini.
Tak lama berselang, tepat jam 1 siang, datanglah empat orang Opsir Jepang, dan memerintahkan KH Zainal Mustafa untuk menghadap ke pemerintah Jepang di Kota Tasikmalaya. Dengan tegas beliau menolak, terjadilah keributan seorang santri bernama Nur tewas tertembak dan tiga orang perwira Jepang juga tewas namun satu orang dibiarkan tetap hidup.
Perwira Jepang yang masih hidup ini lantas disuruh pulang, KH Zainal Mustafa memberi pesan kepada Opsir tersebut untuk disampaikan ke pihak Jepang. Beliau memberi Ultimatun agar Jepang segera memerdekakan Pulau Jawa, terhitung sejak tanggal 25 Februari 1944.
Beberapa jam setelah kejadian itu, tepat menjelang Shalat Asar, beberapa Truk mendekat dan mulai mengepung Pesantren Sukamanah. KH Zainal Mustafa bersama para santrinya mulai bersiap, gema takbir pun berkumamdang sebagai tanda para santri telah siap berperang demi kemerdekaan.
Pecahlah pertempuran yang tak seimbang, Jepang ternyata mengirim orang-orang bayaran pribumi di garis depan untuk memerangi KH Zainal Mustafa dan para santrinya. Kalah jumlah ditambah dengan persenjataan pasukan Jepang yang lebih lengkap, pejuang santri Sukamanah akhirnya porak poranda. Hingga kini, peristiwa ini lebih dikenal sebagai Pemberontakan Singaparna.
Sekitar 86 orang santri gugur sebagai Syuhada dalam peristiwa ini. Empat orang lainnya meninggal di Singaparna karena disiksa, beberapa orang tewas disiksa di penjara Tasikmalaya, sebanyak 38 santri meninggal di penjara Sukamiskin Bandung, sekitar 10 orang lainnya mengalami cacat kehilangan mata atau telinga karena disiksa.
Sehari setelah peristiwa itu, ratusan orang ditangkap dan dimasukan kedalam penjara. KH Zainal Mustafa memberi pesan rahasia agar mereka yang ditahan tidak mengaku terlibat pemberontakan. Beliau menyatakan akan bertanggungjawab atas peristiwa pemberontakan Singaparna ini.
KH Zainal Mustafa bersama pengikut setianya lantas dibawa ke Jakarta untuk diadili, dan akhirnya di eksekusi mati. Pesantren Sukamanah sendiri ditutup oleh pihak Jepang pasca peristiwa pemberontakan tersebut. Hingga kini, nama KH Zainal Mustafa tetap dikenang sebagai simbol perlawanan masyarakat Jawa Barat dalam melawan penjajahan.
Tasikmalaya sendiri memang dikenal sebagai salah satu kota santri di Jawa Barat. Cukup banyak pondok-pondok pesantren yang terdapat di daerah ini. Suralaya, Cipasung, ataupun Miftahul Huda, adalah beberapa nama pesantren yang cukup populer hingga hampir keseluruh Indonesia.
Khusus pesantren Miftahul Huda yang berlokasi di Manonjaya, penulis sendiri pernah ikut menginap di sana meski hanya untuk beberapa bulan saja. Masih lekat diingatan akan eksistensi para ajengan di sana, Kyai Jaja Abdul Jabar, Abah Mumu, Mama Fatah, ataupun Kyai sudah tidak asing lagi Asep Maoshul Affandi, yang pernah menjabat sebagai anggota DPR RI.
Tasikmalaya adalah salah satu daerah di Jawa Barat, yang masih sangat kental dengan akar budaya Sunda yang sekaligus bercirikan Islami bagi sebagian besar masyarakatnya. Semua itu tentu tak lepas dari peran para ulama dan Ajengan termasuk KH Zainal Mustafa tentunya. mch